Suku Karo adalah suku yang mendiami
dataran tinggi dan dataran rendah di Sumatera Utara. Suku Karo tersebar
di dataran tinggi Karo (Kabupaten Karo), Karo Baluren (Dairi),
Simalungun Atas (sebagian), Langkat, Deli Hulu (Deli Serdang), Medan,
Binjai, Aceh Tenggara dan lainnya. Suku Karo memiliki bahasa tersendiri
yakni bahasa Karo. Setiap orang dalam Suku Karo terikat oleh sistem adat
yang disebut dengan merga silima, sangkep nggeluh dan tutur si waluh.
Jadi dimanapun mereka berada pasti memiliki marga, dan jalan
persaudaraan tersendiri.
Sejarah kerajaan suku (Karo/Haru) pada abad 12-sampai abad 13 pada awal
suku Karo bernama Haru yg dikenal ARU. Dilihat dari kapasitas kerajaan
ini cukup besar pada masa itu, bisa dikatakan lebih besar dari kerajaan
batak, karena kerajaan majapahit sangat memperhitungkan kerajaan Haru,
sampai-sampai kerajaan majapahit membuat sumpah yaitu sumpah palapa yang
berisi menaklukan kerajaan-kerajaan besar yang ada di sumatra, jawa,
kalimantan sampai irianjaya. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti
Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu:
Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah
mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring
Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”
Salah satunya kerajaan Karo (Haru),
karena pada masa itu kerajaan Haru berkembang pesat di wilayah sumatra
utara .Tapi sayang, nya kerajan Haru jatuh ditangan kerajaan aceh (dua
kali diserang) dan nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh
yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan
ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis
hingga sekarang. Jatuh kerajan Haru ditangan kerajaan aceh mengakibatkan
semua jalur pemerintahan Haru di ambil alih kerajaan aceh.
Perlu diingat masyarakat suku Karo
enggan disebut sebagai bagian dari suku Batak, karena memang berbeda.
Ditinjau dari segi sejarah, anggapan suku Karo adalah bagian dari suku
Batak merupakan presepsi yang sangat keliru. Nenek moyang suku Batak
dengan nenek moyang suku Karo berbeda. Disatu sisi, nenek moyang suku
Batak berasal dari Si Raja Batak yang leluhur mereka keturunan dari Cina
selatan (suku Mongolia). Disisi lain nenek moyang suku Karo berasal
dari Kerajaan Haru yang leluhurnya berasal dari India Selatan (suku
Tamil yang di pulau sumatera, eksistensi penyebarannya mulai dari Aceh
Besar hingga ke sungai Siak di Riau).
Kira-kira pada tahun 1900an Belanda
kewalahan melawan Musuh Berngi(malam) karena keberanian dan strategi
mereka. Belanda kehilangan akal bagaimana menaklukkan pasukan sumpitan
suku Karo ini, sampai akhirnya Belanda menemukan taktik yang lain, yaitu
dengan menginjili Orang karo supaya tidak lagi melawan. Pengusaha
Belanda bekerja sama dengan badan penginjilan NZG untuk menjinakkan
orang karo, karena berperang atau melalui senjata Belanda selalu kalah
menghadapi suku Karo. Penginjilan yang berawal pada tahun 1890 ini
berhasil menjinakkan gangguan musuh berngi(malam) namun dapak positifnya
orang Karo pun menerima Injil. Upaya penginjilan ini adalah bukti tak
terbantah bagaimana Belanda sangat mengakui kehebatan pasukan orang
Karo. Pada masa itu daerah batak sudah dikuasi sepenuhnya oleh belanda
melalui penginjilan pada masyarakat batak (HKBP) dan selanjutnya
terjadinya penginjilan di tanah karo.
Akhirnya kerajaan aceh lepas tangan
untuk membantu melawan belanda didaerah Karo, karena aceh telah
mendengar bahwa suku Karo mau ikut dengan belanda. Suku karo tidak lagi
mendapat bantuan dari aceh untuk selamanya. Kemudian belanda membuat
nama karo batak ( karo menjadi rumpun batak) karena Belanda tau daerah
kekuasaan aceh termasuk adalah daerah haru (karo). Taktik belanda
menyebut suku Karo menjadi karo batak telah memisahkan aceh dari suku
Karo dan memasukkan suku Karo ke dalam rumpun sub batak.
Pada mula batak hanya satu (toba
tapanuli ini adalah nama daerah bukan nama suku) yang menetap di daerah
toba. Tapanuli adalah suku batak. Suku Karo dianggap suku batak termuda.
Di lihat dari sejarah memang belanda lebih dulu menguasai daerah batak.
Dengan basis awal menguasai kebatakan memberi ruang belanda menyebar ke
tanah karo. Kita sering mendengar bahwa batak menjadi 5 bagian yaitu
tertua toba, tapanuli, mandailing, simalungun, pakpak dan terahir adalah
karo(haru). Ini semua hanyalah permainan politik belanda untuk
mempermudah masuk ke tanah karo. Jadi intinya suku karo bukan lah bagian
dari batak itu hanya lah meralaskan politik belanda saja.
Dari cerita di atas sudah jelas bahwa
karo bukanlah batak. Suko batak adalah suku yang paten, tanpa ada
pecahan sub. Toba bukanlah nama suku, karena bahasa toba tidak ada. Yang
ada bahasa batak, ulos batak, lagu batak, tari batak dan lain-lain.
Sama halnya dengan suku Karo adalah suku
yang paten, tanpa ada pecahan sub dan Karo tetap menggunakan bahasa
Karo, uwis Karo, makanan Karo, tari Karo, lagu Karo dan dll. Suku Karo
tidak pernah memakai bahasa batak dalam acara adat Karo dan tetap
mempertahankan budaya nya yang asli
Kehidupan suku Karo umumnya dari sektor agraris atau pertanian meski ada
juga peternakan yang biasanya dikelola sebagai pekerjaan sampingan.
Suku Karo sebelum kedatangan agama-agama
ke Indonesia adalah penganut animism. Namun ada juga yang mengatakan
politeisme yakni memiliki tiga Tuhan. Ketiga Tuhan tersebut adalah
Dibata Guru Ni Datas (Allah penguasa atas/awal), Dibata Banua Koling
(menguasai dunia tengah-bumi dan manusia) dan Dibata Padukah Aji (Allah
penguasa bawah/akhir). Agama yang pertama adalah agama perbegu, kemudian
dengan datangnya agama Hindhu diubah namanya menjadi agama pemena.
Setelah itu datang agama Islam dan Kristen. Sekarang mayoritas penduduk
Karo telah beragama Kristen Protestan.
Masyarakat Karo memiliki budaya yang
unik dalam seni dan budaya termasuk terhadap benda-benda kebudayaannya.
Setiap seni memiliki nilai mistis dan makna tersendiri, juga dalam
setiap karya memiliki nilai mistis dan makna tersendiri. Beragam corak
hias dengan nilai mistis seperti penolak marabahaya, pendatang rejeki,
pendamaian dan sebagainya.
Alat-alat pertaniannya seperti cangkol, cuan, sabi-sabi, garu dan sebagainya.
Sedangkan alat masak dan makannya adalah
seperti kudin gelang-gelang periuk kuningan), kudin taneh(periuk dari
tanah liat), capah(tempat makan bersama), ukat (sendok dari bambu) dan
banyak lainnya.
Alat musiknya disebut dengan gendang lima sendalanen (gong, gendang kecil, sarune) juga ada kulcapi, keteng-keteng dan sebagainya.
Suku Karo adalah suku
asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota
Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten
Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu
Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa
Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal
dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan
keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing
bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa
Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia"
menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia
mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan
secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari
kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Masuk
Sejarah Suku Karo
21 Agustus 2013 14:47:41 Diperbarui: 24 Juni 2015 09:01:39 Dibaca :
10,138 Komentar : 2 Nilai : 0
Sejarah Suku Karo
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten
Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota
Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu
nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi
Karo) yaitu Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut
Bahasa Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara
pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan
penuh dengan perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau
yang dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk
delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang
masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang
menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan pola kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol.
(Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku
Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si
Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari
cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar
sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Bill Wong
/billwong
Penulis amatir yang ingin menulis sebanyak-banyaknya tentang Taneh Karo
di Kompasiana
Selengkapnya...
IKUTI
Share
430
0
0
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL sejarah humaniora
TANGGAPI DENGAN ARTIKEL
RESPONS : 0
NILAI : 0
Beri Nilai
KOMENTAR : 2
Ki Ghoval Edan26 Agustus 2013 02:52:37
Kl emg pembuktiannya Akurat n Otentik scpatnya didftarkn n disahkn
ke pihak yg brwenang agr mempnyai kekuatn yg ttp n diakui Negara agr
pmbhasannya tdk sbtas Wacana n Perdebatan yg tak brujung, smkin bnyak
rfrensi teori mnybabkn timbulnya kbingungn yg brakibt pmbodohn bgi spa
sja yg blm mngtahuinya trlbih2 di intrnal Karo it sndiri, Mjuah2.
Balas
Budiman Panjaitan23 Juli 2014 16:57:15
Pada baris terakhir tertulis...
"Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo)".
Loh.... Dari mana datangnya Tarlon ??
Sementara dalam cerita bait sebelumnya tertulis.....
"Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri
dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan
tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat
yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat".
Perlu diluruskan.
Balas
Featured Article
Yuk Kita Dukung Ahok Nyagub Jalur Independen!
Putra Noe Santoro
24 Februari
Headline
1
Nenek Lumpuh Ini Hidup Sebatang Kara di Kandang Kambing
Bambang Setyawan
13 Maret 2016
2
Berkunjung ke Pusat Anne Frank di Berlin
Lovely Christi Zega
13 Maret 2016
3
Menjalin Komunikasi Melalui Buku
Cucum Suminar
13 Maret 2016
4
Siswa SD Negeri Ukalahin Tidak Berseragam dan Hanya Miliki Dua Ruang
Belajar
Roesda Leikawa
13 Maret 2016
5
Mari Berbelanja di Warung Tetangga
Irwan Rinaldi Sikumbang
13 Maret 2016
Advertisement
Nilai Tertinggi
Imbas Kalijodo Digusur
Dwi Raditya Primarianto
14 Maret
TNI-AU Membungkamkan Ratna Sarumpaet
Daniel H.T.
14 Maret
Ahok dan Deparpolisasi, Rahasia Politikus dari Zaman Kuno, Teokrasi, dan
Modern
Ninoy N Karundeng
13 Maret
Insiden Nona Noni dan Pesta Ulang Tahun
MJK Riau
14 Maret
Gantilah Penyedap Makanan Anda
Roselina Tjiptadinata
14 Maret
Terpopuler
"Neng, Saya Tidak Akan Milih Ahok; Hidup Makin Susah..."
Ilyani Sudardjat
13 Maret
TNI-AU Membungkamkan Ratna Sarumpaet
Daniel H.T.
14 Maret
Ahok dan Deparpolisasi, Rahasia Politikus dari Zaman Kuno, Teokrasi, dan
Modern
Ninoy N Karundeng
13 Maret
Calon Independen di Luar Jakarta Itu Sudah Biasa, Kenapa Ahok Dituding
Deparpolisasi?
Andi Ansyori
13 Maret
Ahok Pasti Kalah
octa vian
13 Maret
Tren di Google
Ahok Robek Tradisi, Tantang Megawati, Skak DPR Senayan, dan Bakar Spirit
Teman Ahok
Asaaro Lahagu
11 Maret 2016
TNI-AU Membungkamkan Ratna Sarumpaet
Daniel H.T.
14 Maret 2016
Istriku Adik Kandungku
Ninawati Coke
13 Juli 2012
Inilah Kesalahan Karni Ilyas
Daniel H.T.
10 Maret 2016
Apa Salah Cucu Jokowi?
Amirsyah Oke
12 Maret 2016
Gres
Aku Tertawa, Engkau Gerhana
Tetirah Kalam
14 Maret
Menyatu
Arif Rohman Saleh
14 Maret
"Kau kudamba"
Azmi Nawwar
13 Maret
Menyoal Undang-undang Perkawinan yang Terkesan Mendukung Praktik
Pedofilia
Dora Samaria
13 Maret
Sabda Rakyat Jogja
David Efendi
13 Maret
Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Masuk
Sejarah Suku Karo
21 Agustus 2013 14:47:41 Diperbarui: 24 Juni 2015 09:01:39 Dibaca :
10,138 Komentar : 2 Nilai : 0
Sejarah Suku Karo
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten
Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota
Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu
nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi
Karo) yaitu Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut
Bahasa Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara
pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan
penuh dengan perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau
yang dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk
delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang
masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang
menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan pola kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol.
(Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku
Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si
Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari
cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar
sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Bill Wong
/billwong
Penulis amatir yang ingin menulis sebanyak-banyaknya tentang Taneh Karo
di Kompasiana
Selengkapnya...
IKUTI
Share
430
0
0
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL sejarah humaniora
TANGGAPI DENGAN ARTIKEL
RESPONS : 0
NILAI : 0
Beri Nilai
KOMENTAR : 2
Ki Ghoval Edan26 Agustus 2013 02:52:37
Kl emg pembuktiannya Akurat n Otentik scpatnya didftarkn n disahkn
ke pihak yg brwenang agr mempnyai kekuatn yg ttp n diakui Negara agr
pmbhasannya tdk sbtas Wacana n Perdebatan yg tak brujung, smkin bnyak
rfrensi teori mnybabkn timbulnya kbingungn yg brakibt pmbodohn bgi spa
sja yg blm mngtahuinya trlbih2 di intrnal Karo it sndiri, Mjuah2.
Balas
Budiman Panjaitan23 Juli 2014 16:57:15
Pada baris terakhir tertulis...
"Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo)".
Loh.... Dari mana datangnya Tarlon ??
Sementara dalam cerita bait sebelumnya tertulis.....
"Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri
dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan
tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat
yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat".
Perlu diluruskan.
Balas
Featured Article
Yuk Kita Dukung Ahok Nyagub Jalur Independen!
Putra Noe Santoro
24 Februari
Headline
1
Nenek Lumpuh Ini Hidup Sebatang Kara di Kandang Kambing
Bambang Setyawan
13 Maret 2016
2
Berkunjung ke Pusat Anne Frank di Berlin
Lovely Christi Zega
13 Maret 2016
3
Menjalin Komunikasi Melalui Buku
Cucum Suminar
13 Maret 2016
4
Siswa SD Negeri Ukalahin Tidak Berseragam dan Hanya Miliki Dua Ruang
Belajar
Roesda Leikawa
13 Maret 2016
5
Mari Berbelanja di Warung Tetangga
Irwan Rinaldi Sikumbang
13 Maret 2016
Advertisement
Nilai Tertinggi
Imbas Kalijodo Digusur
Dwi Raditya Primarianto
14 Maret
TNI-AU Membungkamkan Ratna Sarumpaet
Daniel H.T.
14 Maret
Ahok dan Deparpolisasi, Rahasia Politikus dari Zaman Kuno, Teokrasi, dan
Modern
Ninoy N Karundeng
13 Maret
Insiden Nona Noni dan Pesta Ulang Tahun
MJK Riau
14 Maret
Gantilah Penyedap Makanan Anda
Roselina Tjiptadinata
14 Maret
Terpopuler
"Neng, Saya Tidak Akan Milih Ahok; Hidup Makin Susah..."
Ilyani Sudardjat
13 Maret
TNI-AU Membungkamkan Ratna Sarumpaet
Daniel H.T.
14 Maret
Ahok dan Deparpolisasi, Rahasia Politikus dari Zaman Kuno, Teokrasi, dan
Modern
Ninoy N Karundeng
13 Maret
Calon Independen di Luar Jakarta Itu Sudah Biasa, Kenapa Ahok Dituding
Deparpolisasi?
Andi Ansyori
13 Maret
Ahok Pasti Kalah
octa vian
13 Maret
Tren di Google
Ahok Robek Tradisi, Tantang Megawati, Skak DPR Senayan, dan Bakar Spirit
Teman Ahok
Asaaro Lahagu
11 Maret 2016
TNI-AU Membungkamkan Ratna Sarumpaet
Daniel H.T.
14 Maret 2016
Istriku Adik Kandungku
Ninawati Coke
13 Juli 2012
Inilah Kesalahan Karni Ilyas
Daniel H.T.
10 Maret 2016
Apa Salah Cucu Jokowi?
Amirsyah Oke
12 Maret 2016
Gres
Aku Tertawa, Engkau Gerhana
Tetirah Kalam
14 Maret
Menyatu
Arif Rohman Saleh
14 Maret
"Kau kudamba"
Azmi Nawwar
13 Maret
Menyoal Undang-undang Perkawinan yang Terkesan Mendukung Praktik
Pedofilia
Dora Samaria
13 Maret
Sabda Rakyat Jogja
David Efendi
13 Maret
Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Suku Karo adalah suku
asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota
Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten
Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu
Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa
Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal
dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan
keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing
bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa
Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia"
menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia
mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan
secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari
kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Suku Karo adalah suku
asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota
Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten
Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu
Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa
Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal
dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan
keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing
bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa
Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia"
menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia
mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan
secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari
kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Suku Karo adalah suku
asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota
Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten
Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu
Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa
Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal
dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan
keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing
bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa
Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia"
menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia
mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan
secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari
kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Suku Karo adalah suku
asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota
Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten
Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu
Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa
Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal
dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan
keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing
bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa
Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia"
menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia
mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan
secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari
kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan
dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa
pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika,
maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan
menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi
kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang.
Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat
sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah
pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk
beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu
hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang
lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana.
Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk
berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami
suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang
sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan
dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka
Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau
yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat
untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai
dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu
mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa
yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi
melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka,
yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama
Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua
Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari
sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat
itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali
tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka
berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati
beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di
suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih
indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan
menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan
melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang
melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang
dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si
Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di
negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.
Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi"
(sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang
sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan
selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai
itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari
kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di
tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan
Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya
lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya
lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal)
sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang
berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama
Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki
yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo)
telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang.
Ginting, anak kedua.
Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang
paling hitam diantara saudaranya.
Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
Tarigan, anak bungsu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/billwong/sejarah-suku-karo_552bd1e16ea834b5268b45ce
0 komentar:
Posting Komentar